Beranda
Beranda

Senin, 18 Januari 2010

Ghadab

Ghadab : Marah : Motif, Akibat & Obatnya

Ditulis oleh trijokobs di/pada April 22, 2008

GADHAB (baca: ghodhob) secara harfiah memang berarti “marah” atau “pemarah”. Maka, marah dalam pengertian ghodhob bersifat negatif. Tentu saja, sifat pemarah seperti itu dapat membakar jiwa dan menghanguskan akal. Itulah sifat pemarah yang dilarang Allah dan RasulNya.

Tentang hal ini Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya ada seorang laki-laki berkata: Si Fulan marah kepada si Fulanah berilah saya wasiat. Nabi saw bersabda: Janganlah kamu marah, (kemudian) orang itu mengulangi perkataannya beberapa kali. Nabi saw bersabda: Janganlah kamu marah”. (HR. Bukhari, dari Abu Hurairah).

Marah Negatif & Marah Positif
Dalam kaitan hadis di atas, berarti: “si Fulan tidak sayang kepada si Fulanah”? Tidak. Dalam konteks ini kita harus memahami motif di balik kemarahan itu. Dengan demikian kita akan tahu pasti sifat marah si Fulan kepada si Fulanah. Apakah kemarahannya masuk kategori positif atau negatif.

Sejarah menunjukkan, para utusan Allah pun pernah marah. Mereka marah saat menyaksikan umatnya tidak mengikuti norma-norma hukum syari’at yang telah ditetapkan Allah. Begitu pun para guru; mereka akan marah kepada murid-muridnya yang tidak patuh. Juga para orang tua, mereka akan marah kepada anak-anaknya yang tidak berbakti dan tidak hormat kepadanya, dst. Itulah sifat marah positif yang diperbolehkan Allah dan RasulNya.

Beda dengan amarah negatif yang bersumber dari nafsu lawwamah. Itu marah negatif. Sifat semacam itu dilarang oleh Allah dan RasulNya. Jadi, marah positif adalah marah karena Allah (ghodhobullah). Sedang marah negatif adalah marah karena syaitan (ghodhobus syaitan).

Marah Karena Allah
Marah karena Allah (ghodhobullah) berarti bahwa “tidak seseorang marah kecuali bila ia melihat kekufuran, kemaksiatan dan berbagai kejahatan lahir dan bathin. Baik muncul dari diri sendiri maupun orang lain (masyarakat)”. Sebab, bila orang marah karena melihat perbuatan keji dan munkar, maka tidak lain yang marah ialah Allah.
Sebagaimana dalam sejarah Nabi Hud as dan kaum ‘Aad. Ia marah kepada kaumnya yang tidak mau mengikuti hukum syari’at yang telah Allah tetapkan atas mereka. Juga saat kaumnya diajak menyembah Allah SWT, mereka memperolok-olokkan ajakan Nabi Hud as.
Bahkan mereka menjawab: “Apakah kamu (Hud) datang kepada kami (kaum ‘Aad) agar kami hanya menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami? Maka datangkanlah adzab kepada kami jikalau kamu temasuk orang-orang yang benar”.

Tak ayal Nabi Hud as menjawab tantangan kaumnya. Seperti terlukis dalam Al Qur’an:
“Ia (Hud) berkata :” Sungguh sudah pasti kamu akan ditimpa adzab dan kemarahan dari Tuhanmu….”
(QS. Al A’raaf: 71)
Sejarah Islam juga mencatat peristiwa saat Nabi Musa as pergi ke Gunung Thur untuk memenuhi panggilan Allah. Ia meninggalkan kaumnya dan mempercayakan pada adiknya, Nabi Harun as.
Namun, tanpa sepengetahuan Nabi Musa as kaumnya kemudian membuat berhala dari emas, yang dibentuk menjadi seekor anak lembu untuk sesembahan. Setelah Musa kembali menemui kaumnya, alangkah kaget dan sedihnya ia. Berkatalah Musa as:
“Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan sesudah kepergian-ku! Apakah kamu hendak mendahului Tuhanmu?”.
Sambil marah-marah, Nabi Musa as melempar Kitab Taurat ke hadapan kaumnya, sementara tangannya meraih kepala Nabi Harun as, adiknya. Nabi Musa meminta pertanggungjawaban Nabi Harun as atas peristiwa yang menimpa kaumnya.
Namun, dengan sabar Nabi Harun as menjelaskan duduk masalahnya. Katanya:
“Hai anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir-hampir mereka membunuhku. Sebab itu janganlah kamu menjadikan musuh-musuh gembira melihatku, dan janganlah kamu masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang zalim”.
Setelah mendengar penjelasan Nabi Harun as tentang peristiwa itu, redalah amarah Nabi Musa as.
“Sesudah amarah Musa menjadi reda, lalu diambilnya (kembali) luh-luh (taurat) itu .. (QS. Al A’raaf: 154)

Kemarahan Nabi Yunus & Rasulullah SAW
Nabi Yunus as juga seorang Rasul Allah yang sudah jelas ma’sum (terpelihara dari dosa). Namun, ternyata ia juga sempat tergores sifat ghodhob yang menjurus ke negatif, walaupun hanya terhadap kaumnya.
Karena luapan sifat amarah, Nabi Yunus sempat pergi meninggalkan kaum yang mendurhakainya. Namun, sadar bahwa dirinya dikuasai luapan rasa marah terhadap kaumnya, kemudian ia berdoa dan menghukum dirinya sendiri sebagai orang yang zalim:
“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap:”Bahwa tidak ada tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. 21:87).

Siti ‘Aisyah ra juga pernah berkata:
“Biasanya Rasulullah saw manakala menyuruh sahabat-sahabatnya, disuruh mereka mengerjakan amalan-amalan yang sekiranya mereka sanggup mengerjakannya”. Kemudian para sahabat berkata :”Ya Rasulullah, kami ini tidak seperti Anda. Allah telah mengampuni dosa Anda yang telah lalu dan yang akan datang”.
Mendengar ucapan para sahabat, Rasulullah saw marah. Sebagaimana tersurat dalam Hadis:
“Maka marahlah Rasulullah saw sehingga kelihatan dimukanya tanda kemarahan, kemudian beliau mengatakan; sesungguhnya yang paling taqwa dan lebih mengetahui kepada Allah di antara kamu sekalian adalah aku.” (HR. Bukhari dari ‘Aisyah ra).

Sekilas peristiwa dalam sejarah Nabi Hud as., Musa as, Yunus as, dan Rasulullah saw, jelaslah bahwa mereka marah bukan karena nafsu lawwamah yang bersifat ghodhob, tetapi karena Allah SWT.
Maka amarah itu tidak mengurangi kema’suman mereka. Sebab mereka “marah karena Allah”.
Beda dengan kita yang selalu cenderung kepada perbuatan mesum bukan ma’sum dan senantiasa dikuasai sifat marah.
Sifat marah para Nabi dan Rasul adalah atas dasar kasih sayang. Sebab mereka tidak tega jika umat atau kaumnya mendapat azab akibat perbuatan mereka. Mereka marah karena mereka tahu bahwa Allah marah terhadap orang-orang semacam itu. Maka kemarahan mereka atas dasar Allah. Atau bisa juga dikatakan: “Yang marah pada hakikatnya Allah”

Takutlah Kepada Allah
Telah dijelaskan, Nabi Yunus as sempat tergores sifat marah, tetapi bukan marah yang dimaksud ghodhob atau sifat nafsu lawwamah sepeperti umumnya manusia biasa. Ia marah karena umatnya tidak mau mengikuti seruannya. Artinya, marah karena Allah. Tetapi ia masih juga terkena hardik Allah.

Marah karena Allah adalah marah yang positif. Sebab hal tersebut berdasarkan kesadaran akidah dan amal ibadah. Itu berarti, layak bagi seorang Rasul memarahi umatnya yang melanggar syari’at.
Memang, kebenaran harus disampaikan secara berani. Tidak boleh takut. Sebagaimana firman Allah: “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka: kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridha’anNya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepadaKu. Dan barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. (QS. 48:29 dan QS.4:44).

Marah Karena Setan
Apa pula yang dimaksud ghodhobus-syaitan (marah karena setan)? Ialah:
“Tidak seorang marah melainkan terdorong oleh kebutuhan syahwat duniawi”. Maksudnya ialah marah yang diselimuti kemaksiatan atas dasar hembusan nafsu lawwamah bersifat ghodhob.

Sifat ghodhob itu senantiasa meliputi jiwa orang-orang yang cenderung ingin menguasai sarana kehidupan dunia. Itulah suatu kemaksiatan batin. Sebentuk aniaya bagi dirinya. Dan disebut marah karena setan sebab marahnya tidak berlandaskan norma-norma ajaran Islam.
Setan itu dari bangsa jin. Ada pula yang dari bangsa manusia. Maka jika ada orang marah-marah karena tidak tercukupi urusan syahwatnya, itulah setan dari bangsa manusia yang sedang marah-marah!

Marah sebagai hembusan ghodhob atau sifat nafsu lawwamah tentu merupakan marah negatif. Si pemarah atas dasar nafsu tersebut layak disebut setan. “Sesungguhnya marah itu dari setan dan setan itu dijadikan dari api”, demikian Hadis Nabi. (HR. Ahmad, Abu dawud).

Amarah Qabil
Benih sifat ghodhob di dalam jiwa manusia akan tumbuh bila ada pasokan “pupuk” yang menyuburkannya. Pasokan “pupuk” tersebut lewat pancaindera yang tertampung pada bejana gharizah, naluri hewani.
Naluri tersebut menampung limbah yang mengairi ladang jiwa berbenih ghodhob. Setelah sifat itu tumbuh subur, akan tampak “bunga”nya berupa tabiat buruk. Buahnya adalah “amarah karena setan”.

Itulah marah negatif yang datangnya dari setan jenis manusia. Sebagaimana Qabil marah pada Habil adiknya yang akan dinikahkan dengan Iklimah, saudari kembarnya yang cantik dan amat dicintainya.
Qabil tidak setuju dengan hukum (undang-undang) pernikahan yang telah ditetapkan Allah pada zamannya. Kemarahan Qabil terhadap Habil memuncak setelah keputusan Allah turun: Habil boleh menikah dengan Iklimah saudari kembarnya Qabil.

Karena dikuasai sifat ghodhob yang bersumber dari nafsu lawwamah, serta merta Qabil membunuh Habil. Sejarah mencatat, peristiwa Qabil dan Habil adalah peristiwa pembunuhan pertama kali di muka bumi. Penyebabnya ialah sifat ghodhob yang tak terkendali.

Firaun & Musa
Ingat Fir’aun? Si Raja lalim itu pernah marah pada anak angkatnya: Nabi Musa as. Alkisah, ketika Musa masih kecil dan ditimang-timang, tiba-tiba bocah itu menjambak janggut Fir’aun. Tak ayal, amarah sang Raja meluap. Nyaris saja si raja lalim itu membunuh Musa as. Tetapi istrinya melerai dengan bujuk rayu yang menghibur.

Kemarahan Fir’aun pada Musa as juga terjadi tatkala Musa as meningkat remaja. Penyebabnya: Musa as memukul Qibti, pemuda Mesir Kuno, penduduk asli. Akibatnya, pemuda tersebut mati.
Lebih geram lagi kemarahan Fir’aun pada Musa as. setelah ia mengetahui bahwa anak angkatnya itu “pemimpin revolusioner bangsa Israil yang mengancam kekuasaannya”.

Kemarahan Fir’aun dilukiskan di dalam Al Qur’an: “(Fir’aun berkata): “Sesungguhnya mereka (Bani Israil) benar-benar golongan kecil dan sesungguhnya mereka membuat hal-hal yang menimbulkan amarah kita”. (QS. 26 As Syu’araa : Ayat 54, 55)

Namrud & Abu Lahab
Raja Namrud juga pernah marah-marah kepada Nabi Ibrahim as. Pangkal soal, Nabi Ibrahim as memporak-porandakan tuhan-tuhan Namrud yang berbentuk patung-patung. Luapan amarah Namrud dilampiaskan dengan membakar hidup-hidup Ibrahim as. Namun Nabi Ibrahim as diselamatkan oleh Allah dari panas api dan amukan amarah Raja Namrud.

Ketika Muhammad saw memproklamirkan kenabiannya, orang yang pertama kali marah adalah Abu Lahab, pemuka kaum Quraisy yang disegani. Amarah Abu Lahab memuncak setelah mendengar pernyataan keponakannya itu sebagai seorang Rasulullah, yang diutus untuk memperbaiki peradaban manusia yang bobrok.
Abu Lahab mendorong kemenakannya itu. Ia amat marah mendengar pernyataan Muhammad saw sebagai “Rasul Akhiruz Zaman”. Bahkan, dengan amarah yang meluap, Abu Lahab bertekad akan selalu menghalang-halangi “Syi’ar Islam”, sampai mati. Sifat dan sikap yang akhirnya mengundang murka Allah SWT. Firman-Nya:
Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) isterinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut.” (QS. 111:1-5).

Si Pelopor Sifat Ghodob
Sifat ghodhob merupakan benih kejahatan dalam diri manusia. Sifat tersebut tentu amat berbahaya. Bencana akan terjadi di muka bumi jika jiwa didominasi sifat ghodhob. Bahkan dampaknya akan berjejak sampai kehidupan di akhirat.
Sifat pemarah adalah penyakit jiwa. Manusia mendapat warisan sifat itu dari setan, dan setan mendapat warisan dari Iblis — pelopor sifat ghodhob.

Iblis pernah bersengketa dengan Allah. Pangkal masalahnya: Iblis disuruh bersujud sebagai tanda hormat pada Adam as. Namun Iblis menolak. Bahkan marah-marah di hadapan Allah. Alasannya, dirinya lebih mulia dibanding Adam. Adam dicipta Allah dari tanah, sedang ia dari api.
Amarah Iblis memuncak setelah ia mendapat murka Allah. Iblis pun berjanji akan menyesatkan Adam as dan anak cucunya sampai hari kiamat. Tentu, ajakan sesat Iblis dan pasukannya takkan mempan bagi manusia yang beramal saleh dan ikhlas karena Allah.

“Bukanlah orang yang kuat itu kuat bergulat, (tetapi) sesungguhnya orang yang kuat itu ialah orang yang dapat (mampu) menguasai nafsunya tatkala marah”. (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ra.)

Jihadul Akbar
Jelaslah, sifat ghodhob amat berbahaya bagi keselamatan jiwa manusia. Terutama bagi akidah. Sebab sifat itu dapat menumbuhkan kemunafikan, kefasikan, dan perbuatan jahat lainnya. Akibatnya, timbullah bencana yang akan merugikan. Bukan saja bagi orang-orang lain, tapi terutama bagi diri sendiri.

Maka, tidak ada satu obat penawar untuk penyakit ghodhob kecuali dengan mandi air ma’fu. Dengan kata lain, jika ada orang dirasa merangsang amarah, segeralah istighfar dan maafkan dia. Dengan memaafkan maka lenyaplah benih amarah dalam diri kita. Itulah kemenangan yang sebenarnya. Yakni kemenangan dalam memerangi hawa nafsu (Jihadul Akbar).

Rasulullah Sang Pemaaf
Sejarah menunjukkan, Rasulullah saw adalah Nabi yang dikenal amat pemaaf. Sifat itu tercermin antara lain ketika budak Habtsi membunuh paman beliau, Rasulullah saw tetap memaafkan si budak. Bahkan, tidak sedikit peristiwa yang menimpa Nabi, namun beliau tetap tidak menutup pintu maaf.

Ada peristiwa lain yang sangat mengharukan. Syahdan, suatu hari Rasulullah saw pernah dilempari batu oleh seorang pemuda musyrikin. Akibatnya, mulut beliau berdarah. Bahkan beberapa gigi beliau rontok. Bagaimana sikap beliau? Dengan sabar, beliau tetap saja memaafkan.

Melihat peristiwa itu, keruan para sahabat cemas. Ada juga yang geram. Tak ayal, salah seorang sahabat berkata: “Ya Rasulullah, engkau adalah Habibullah (kekasih Allah). Jika kau doakan celaka orang itu, maka akan celakah orang itu.” Apa jawaban Rasulullah?
“Aku dibangkitkan ke dunia ini bukan untuk mencelakakan orang lain,” sabda beliau. Bahkan, dengan penuh kesabaran kemudian beliau berdoa: “Allahummaghfir liqaumi fainnahum laa ta’lamun.” (“Ya Allah, ampunilah kaumku karena sesungguhnya mereka tidak tahu siapa aku.”)

Obat Mujarab: Memaafkan
Sulit memang menghitung kalimat maaf yang telah terlontar dari mulut Nabi saw yang shiddiq. Sifat tersebut tentu juga tak lepas dari bimbingan dan petunjukNya.
Sebagaimana firman Allah: “Maka bersabarlah kamu (, hai Muhammad) terhadap ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu seperti orang (Yunus) yang berada dalam (perut) ikan ketika berdoa, sedang ia dalam keadaan marah (kepada kaumnya)”. (QS. 68 : 48 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar